Mengajar dengan Cinta: Inspirasi Hadis Nabi untuk Guru Masa Kini

 

Oleh: Akhmad Wakhidillah Agung P. (Guru Al-Qur'an Hadis MAN 1 Gunungkidul, DIY)

Mengawali pembicaraan tentang pendidikan, tentu kita teringat bahwa tidak ada teks yang lebih monumental dalam Islam selain wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw: “Iqra’” — bacalah. Satu kata yang menegaskan bahwa peradaban Islam dibangun di atas fondasi ilmu pengetahuan. Nabi bukan hanya seorang rasul yang menyampaikan wahyu, tetapi juga seorang guru yang mendidik umatnya dengan sabar, penuh kasih, dan konsisten.

Namun, pertanyaannya: bagaimana ajaran-ajaran Nabi tentang pendidikan masih bisa memberi makna di era kita hari ini? Abad 21 dikenal sebagai zaman revolusi digital, ketika anak-anak madrasah kita lebih sering bersentuhan dengan layar gawai daripada dengan lembaran mushaf. Guru menghadapi generasi yang kritis, serba cepat, sekaligus rawan terpapar arus informasi yang membingungkan.

Dalam konteks inilah, saya merasa penting menengok kembali hadis-hadis Nabi yang berbicara tentang pendidikan. Hadis itu tidak hanya menjadi warisan normatif, tetapi juga sumber inspirasi yang relevan. Guru madrasah di abad 21, menurut saya, bisa menemukan panduan pedagogis, spiritual, sekaligus moral dari sabda Rasulullah Saw.

Hadis tentang Kewajiban Menuntut Ilmu

Rasulullah Saw. bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. (HR. Ibnu Majah, No.220)

Hadis ini mungkin sudah berkali-kali kita dengar, bahkan kadang menjadi slogan para guru atau madrasah. Tetapi, bila direnungkan lebih dalam, hadis ini sesungguhnya mengandung pernyataan revolusioner. Di tengah masyarakat Arab abad ke-7 yang masih paternalistik, Nabi menegaskan bahwa kewajiban menuntut ilmu tidak mengenal batas gender, status sosial, maupun usia.

Saya melihat hadis ini sangat relevan dengan isu kesetaraan pendidikan hari ini. Madrasah harus memastikan bahwa setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki hak yang sama untuk belajar. Lebih jauh, kewajiban menuntut ilmu juga berarti kewajiban bagi guru untuk terus belajar. Guru madrasah di abad 21 tidak bisa berhenti pada pengetahuan lama; ia dituntut adaptif dengan perkembangan zaman, termasuk literasi digital.

Hadis tentang Keutamaan Guru

Rasulullah Saw. bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ

Sesungguhnya Allah, MalaikatNya serta penduduk langit dan bumi bahkan semut yang ada di dalam sarangnya sampai ikan paus, mereka akan mendoakan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia. (HR. Tirmidzi, No.2609)

Hadis ini memberi pengakuan spiritual terhadap profesi guru. Mengajarkan kebaikan, termasuk ilmu apa pun yang bermanfaat, menghadirkan doa dari seluruh makhluk.

Sebagai guru madrasah, saya merenungi bahwa profesi ini sering dipandang sebelah mata di ruang publik. Ada kalanya guru hanya dianggap sebagai pegawai yang bekerja sesuai jam. Namun, hadis ini membalikkan pandangan itu. Guru bukan sekadar pekerja, melainkan pewaris para nabi. Mengajarkan Al-Qur’an Hadis kepada generasi muda berarti melanjutkan misi kenabian.

Inspirasi yang bisa kita tarik adalah rasa percaya diri. Guru tidak boleh rendah diri hanya karena gajinya terbatas. Ada kehormatan spiritual yang tidak bisa diukur dengan materi. Bahkan, di era digital ketika profesi baru bermunculan seperti: youtuber, konten kreator, influencer, guru tetap memiliki kedudukan yang tidak tergantikan sebagai pengajar kebaikan.

Hadis tentang Kelembutan dalam Mendidik

Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَيْهِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ

Sesungguhnya Allah itu Maha lembut dan mencintai kelembutan. Dia memberi pada kelembutan yang tidak diberikan pada kekerasan. (HR. Abu Dawud, No.4173)

Hadis ini sering saya refleksikan ketika berhadapan dengan siswa yang “bandel”. Ada godaan untuk marah atau bersikap keras. Tetapi, kelembutan justru menjadi metode yang diajarkan Nabi. Rasulullah Saw. menghadapi para sahabat yang beragam karakter dengan penuh pengertian. Kesalahan mereka tidak langsung dihukum, melainkan dijadikan kesempatan belajar. 

Di abad 21, pendekatan pendidikan memang lebih menekankan humanisme. Anak-anak yang terbiasa dengan kebebasan digital cenderung tidak tahan dengan otoritarianisme. Mereka lebih mudah belajar dalam suasana dialogis dan menyenangkan. Dengan kata lain, hadis Nabi sudah lebih dulu menegaskan pentingnya pendekatan yang lembut, jauh sebelum istilah student-centered learning lahir.

Hadis tentang Keteladanan

Nabi Saw. bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia. (HR. Baihaqi, hal 192)

Bagi saya, hadis ini adalah inti pendidikan Nabi: akhlak. Dan cara paling efektif untuk mendidik akhlak adalah melalui keteladanan. Para sahabat tidak hanya mendengar sabda Nabi, tetapi menyaksikan langsung perilakunya.

Sebagai guru madrasah, saya merasa inilah tantangan terbesar. Murid-murid kita tidak hanya menilai apa yang kita katakan di kelas, tetapi juga sikap kita di luar kelas, bahkan jejak digital kita di media sosial. Keteladanan itu kadang lebih berat daripada mengajar materi. Namun, justru di situlah kunci keberhasilan pendidikan.

Dalam kerangka abad 21, ketika siswa mudah sekali menemukan tokoh idola di dunia maya, guru bisa tetap relevan jika menghadirkan diri sebagai figur teladan nyata yang dapat mereka percaya.

Hadis tentang Ilmu dan Amal

Nabi Saw. bersabda:

مَثَلُ الْعَالِمِ الَّذِي يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ ويَنْسَى نَفْسَهُ كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيءُ لِلنَّاسِ ويُحْرِقُ نَفْسَهُ

Perumpamaan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia namun lupa pada dirinya sendiri adalah seperti pelita yang menerangi orang lain tetapi membakar dirinya sendiri. (HR. Thabrani, No.1659)

Hadis ini sering terasa menohok. Guru bisa saja pandai berbicara di kelas, tetapi jika perilakunya tidak sesuai, ia seperti pelita yang habis terbakar sendiri. Saya memahami hadis ini sebagai peringatan agar pendidikan tidak berhenti pada transfer pengetahuan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Di madrasah, pembelajaran Al-Qur’an Hadis misalnya, akan lebih hidup jika guru sekaligus mengamalkan nilai-nilainya. Dengan begitu, siswa melihat konsistensi antara ucapan dan perbuatan. 

Relevansinya dengan abad 21 sangat kuat. Dunia kini menuntut kompetensi praktis, bukan sekadar teori. Pendidikan berbasis proyek (project based learning) atau pengalaman nyata (experiential learning) sebenarnya sudah diajarkan Nabi.

Refleksi: Guru Madrasah di Abad 21

Ketika saya menghubungkan hadis-hadis ini dengan realitas madrasah hari ini, saya menemukan benang merah: semua pesan Rasulullah sangat kontekstual dengan tantangan abad 21.

  • Kewajiban menuntut ilmu — sejalan dengan pendidikan inklusif.
  • Keutamaan guru — menguatkan martabat profesi pendidik.
  • Kelembutan dalam mendidik — mendukung pendekatan humanis.
  • Keteladanan — kunci pendidikan karakter.
  • Ilmu yang diamalkan — selaras dengan pembelajaran berbasis praktik.

Artinya, hadis Nabi tidak hanya relevan, tetapi juga menawarkan solusi atas problem pendidikan modern. 

Saya membayangkan, jika setiap guru madrasah menjadikan hadis-hadis ini sebagai pedoman, madrasah bisa menjadi pusat lahirnya generasi Qur’ani yang adaptif dengan zaman. Generasi yang cerdas digital sekaligus kuat moral.

Hadis Nabi tentang pendidikan bukanlah warisan masa lalu yang hanya pantas disimpan dalam kitab kuning. Ia adalah sumber nilai yang hidup, bisa dihidupkan kembali di kelas-kelas madrasah kita. Guru madrasah di abad 21 memikul tugas berat: mendidik generasi Z dan Alpha yang hidup di dunia serba digital. Namun, dengan inspirasi dari sabda Rasulullah Saw., tugas itu bukan sesuatu yang mustahil. Mengajar dengan kelembutan, meneladani akhlak, terus belajar, dan mengamalkan ilmu — semua itu adalah warisan pedagogis Nabi yang harus kita hidupkan.

Sebagai penulis, sekaligus guru Al-Qur’an Hadis, saya merasa hadis-hadis ini bukan hanya bahan ajar, tetapi juga cermin untuk diri saya sendiri. Sejauh mana saya sudah mendidik dengan kelembutan? Sejauh mana saya sudah menjadi teladan? Dan sejauh mana saya sudah menjadikan mengajar sebagai ibadah, bukan sekadar profesi?

Mungkin jawaban itu tidak pernah sempurna. Tetapi, dengan terus meneladani Nabi, kita bisa melangkah. Sebab, pada akhirnya, guru adalah pewaris misi Rasul: menyebarkan ilmu, menanamkan akhlak, dan membangun peradaban.

 


Previous Post Next Post