Penulis : Mohammad Taufikurohman (Guru Al-Qur'an
Hadis MAN 3 Sleman)
Ada satu tradisi yang tampaknya tidak pernah absen dari dunia
pendidikan kita: setiap kali berganti menteri, bergantilah juga kurikulumnya.
Nama dan jargon selalu terdengar manis. Kita mengenal Kurikulum 1947 sebagai
yang pertama setelah kemerdekaan, disusul Kurikulum 1968 yang menekankan
pendidikan moral, lalu Kurikulum 1975 dan 1984 yang lebih menekankan pendekatan
tujuan serta proses belajar mengajar. Memasuki era reformasi lahir Kurikulum
1994, yang kemudian diganti oleh KBK 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi), lalu
KTSP 2006 yang memberi otonomi lebih besar kepada sekolah. Setelah itu hadir
Kurikulum 2013 dengan semangat “pendidikan karakter”, dilanjutkan dengan
Kurikulum Merdeka yang memberi ruang lebih luas bagi guru dan murid. Dan kini,
kita kembali disuguhi wacana baru yang terdengar manis: Kurikulum Berbasis
Cinta.
Di telinga, kata “cinta” terdengar begitu hangat. Seakan-akan semua
masalah pendidikan akan selesai bila kita menambahkan sedikit rasa kasih
sayang. Namun, pengalaman panjang di ruang kelas membuat kita sadar, cinta
tidak pernah sesederhana itu.
Cinta di
Dokumen, Luka di Ruang Kelas
Setiap kurikulum baru datang dengan semangat perubahan. Dan itu
bukan hal yang salah. Pendidikan memang harus bergerak, menyesuaikan diri
dengan zaman. Tetapi bagi guru, setiap perubahan berarti siklus baru:
pelatihan, penyusunan perangkat ajar, penyesuaian asesmen, hingga revisi
dokumen yang seolah tak ada habisnya.
Guru akhirnya terjebak dalam dilema. Di satu sisi, mereka ingin
setia pada aspirasi: mengajar dengan hati, mendidik dengan cinta, membangun
hubungan manusiawi dengan murid. Di sisi lain, mereka tidak bisa lepas dari
beban administrasi: perangkat ajar yang harus sesuai format, laporan yang harus
rapi, supervisi yang kadang lebih menilai dokumen ketimbang interaksi.
Inilah yang melahirkan ironi: cinta memang ada, tapi sering kali
hanya indah di atas kertas. Sementara di ruang kelas, guru dan murid harus
bergulat dengan kebingungan dan kelelahan.
Dua Sisi dari
Pergantian Kurikulum
Adilnya, kita tidak bisa menutup mata bahwa perubahan kurikulum
juga membawa peluang. Ia membuka ruang inovasi, memberi kesempatan memperbaiki
kelemahan lama, dan menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan zaman. Kurikulum
Merdeka, misalnya, mendorong kebebasan guru berkreasi. Kurikulum Berbasis
Cinta bisa mengingatkan kembali pada dimensi afektif pendidikan yang sering
terlupakan.
Namun, ada sisi lain yang harus diakui. Pergantian kurikulum yang
terlalu sering menciptakan ketidakstabilan. Guru kelelahan beradaptasi. Murid
bingung dengan istilah yang silih berganti. Orang tua pun tidak jarang merasa
kehilangan arah. Seperti kata Neil Postman dalam Technopoly (1992): “New
policies are often introduced with promises of liberation, but more often than
not, they create new forms of control.”
Apakah kurikulum kita sungguh membebaskan guru, atau justru
mengikat mereka pada birokrasi yang lebih ruwet?
Ruh Pendidikan yang Menentukan
Di balik segala dinamika kurikulum, ada satu hal yang tidak pernah
boleh hilang: ruh pendidikan itu sendiri. Ada ungkapan Arab yang menarik:
ٱلْمَادَّةُ مُهِمَّةٌ وَلَـٰكِنِ ٱلطَّرِيقَةُ
أَهَمُّ مِنَ ٱلْمَادَّةِ. ٱلطَّرِيقَةُ مُهِمَّةٌ وَلَـٰكِنِ ٱلْمُدَرِّسُ
أَهَمُّ مِنَ ٱلطَّرِيقَةِ. وَرُوحُ ٱلْمُدَرِّسِ أَهَمُّ مِنَ ٱلْمُدَرِّسِ.
“Materi itu penting, tetapi metode lebih penting dari materi.
Metode itu penting, tetapi guru lebih penting dari metode. Dan ruh guru lebih
penting daripada guru itu sendiri.”
Inilah inti yang sering kita lupakan. Pendidikan tidak ditentukan
semata oleh dokumen kurikulum atau metode yang dipilih. Yang paling menentukan
adalah ruh guru—semangat, keikhlasan, dan ketulusan mereka dalam mendidik.
Kalau ruh itu hadir, kurikulum apa pun bisa bernyawa. Seorang guru
bisa membuat kelasnya hidup meski dengan perangkat sederhana. Sebaliknya, tanpa
ruh itu, kurikulum secanggih apa pun hanya akan menjadi aturan kaku tanpa
makna.
Cinta dalam pendidikan tidak akan pernah lahir dari tabel rubrik
atau format laporan. Ia tumbuh dalam kesabaran seorang guru yang mendengarkan
muridnya, dalam ketekunan yang tidak pernah putus meski gaji pas-pasan, dalam
doa yang diam-diam dipanjatkan di malam hari agar anak didiknya menjadi manusia
yang baik.
Di titik inilah, kita bisa berkata: ruh pendidikan tidak ditentukan
oleh kebijakan, melainkan oleh manusia yang menjalankannya. Guru dengan ruh
yang hidup akan selalu menemukan cara, bahkan ketika kebijakan berganti
berkali-kali.
Pergantian kurikulum mungkin tidak bisa kita hindari. Nama dan
jargon akan selalu datang silih berganti, dari “Merdeka Belajar” hingga
“Berbasis Cinta”, mungkin kelak berganti lagi dengan istilah lain. Namun satu
hal yang tidak boleh ikut hilang adalah ruh pendidikan itu sendiri.
Harapan saya sederhana: semoga setiap kebijakan baru benar-benar
berpijak pada kebutuhan nyata di kelas, bukan sekadar jejak politik sesaat. Dan
semoga guru diberi ruang yang lebih luas untuk menjadi pendidik sejati, bukan
hanya administrator kebijakan.
Mari kita, para guru dan pemerhati pendidikan, tetap menjaga api
itu. Mari kita rawat ruh pendidikan dengan ketulusan, meski terkadang kertas
kurikulum terasa terlalu birokratis. Karena pada akhirnya, yang akan dikenang
murid bukanlah nama kurikulumnya, tetapi wajah guru yang mengajarnya dengan
cinta.