Oleh: Aisyah Nur Amalia, S.Pd., M.A. (Guru Al-Qur'an Hadis MAN 3 Bantul)
Sepuluh tahun
merasakan, mengalami dan berada di dunia pesantren, saya bisa mengatakan bahwa barokah
kyai itu nyata adanya. Alih-alih mendukung pihak yang menyoroti tradisi
pesantren yang dianggap ‘berlebihan’ (sungkem, berjalan jongkok, budaya
mengantri, kerja bakti atau ro’an), saya akan mengatakan memang seperti
itu kami dididik dan mendapatkan buah manis dari tradisi yang diajarkan
tersebut.
Dari yang
lututnya terasa sakit ketika berjalan timpuh, beratnya ro’an di jumat
pagi karena mata masih mengantuk, dan berat-berat yang lainnnya. Ternyata,
hal-hal itu membantu diri saya sendiri ketika sudah dewasa. Di dunia Masyarakat
kelak ada yang namanya kerja bakti dusun, membantu tetangga yang sedang terkena
musibah, kumpulan PKK dan kegiatan lainnya. Tanpa kecerdasan sosial yang
dibangun di dunia pesantren, saya rasa sulit menghadapi dunia masyarakat kita
yang terkenal dengan budaya gotong royongnya.
Di Pondok
Pesantren, kami diajarkan bertanggung jawab terhadap diri sendiri, bekerja sama
membersihkan tempat yang kami tinggali, mengaji, dan mematuhi aturan agama
Islam. Diminta mematuhi saja masih ada pelanggaran, apalagi
ketika hidup tidak ada aturan sama sekali. Entah bagaimana jadinya?
Pesantren mengajarkan kami untuk ta’dzim kepada guru-guru kami, ayat
Al-Qur’an, Hadis, Kitab Kuning kami pelajari. Untuk apa? Supaya kami tidak
menjadi manusia yang kagetan, gumunan, dan grusa-grusu di
dalam menjalani kehidupan. Bijak memilih dalil dan menanggapi segala hal,
mengikuti guru-guru kami.
Benar, mereka memang sama-sama manusia. Tetapi ilmu dan tirakatnya, kami
tidak ada apa-apanya dibanding guru-guru kami. InsyaAllah, sanad keilmuan guru
kami sampai kepada Rasulullah SAW. Lantas apa lagi yang tidak kami harapkan
selain barokah?
Secara etimologi, barokah bisa diartikan sebagai kenikmatan, keberkahan,
atau bertambahnya kebaikan (ziyadatul khoir). Barokah memiliki makna spiritual
yang mendalam, yaitu ketaatan yang bertambah kepada Allah SWT, di mana kebaikan
tidak hanya berupa limpahan materi, tetapi juga ketenangan, kesehatan, dan
keamanan.
Ada banyak kisah yang saya alami sendiri, yang menurut saya adalah
keberkahan dari mondok. ”Santrinya mbah Mufid ya?” ”Santrinya mbah Nawawi ya?”
kalimat-kalimat ini adalah akhiran saja, yang kisahnya tidak bisa saya
ceritakan secara mendetail. Kalimat ini saya dengar kemudian dilanjutkan dengan
kebaikan yang saya dapatkan. Dengan mengikuti ’alim ulama, guru-guru kita maka
keberkahan tersebut akan kita dapatkan.
Keberkahan juga saya simpulkan dengan banyaknya ilmu sosial yang saya
dapatkan ketika mondok, dan bisa diamalkan di kehidupan nyata. Relasi
teman-teman seperjuangan saat mondok yang saat ini sudah menjadi orang-orang
besar, mirip seperti halnya barokah berorganisasi.
Akhir kata, dunia pesantren memang lekat dengan budaya disiplin diri dan
disiplin ilmu yang tinggi. Mungkin jadi tidak relevan dengan ilmu-ilmu
parenting ramah tamah yang saat ini berkembang. Pesantren adalah cahaya di
tengah post truth era, lembaga yang konsen dan istiqomah membentuk
pondasi kekuatan iman, ilmu dan amal sholih para santrinya.